Sabtu, 14 Mei 2011

ETIKA BISNIS


CSR, MDGS DALAM PANDANGAN ETIKA BISNIS ISLAM
Oleh : Syaidun, Slamet Efendi, Sahuri, Sholikin
PENDAHULUAN
Siapa yang tak kenal CSR (corporate social responsibility) sekarang? Kelihatannya semua orang dalam dunia usaha serta para pemangku kepentingannya kini sangat fasih mengucapkan singkatan ini.  Banyak pihak meyakini bahwa CSR bukanlah sebangsa "mode" sehingga tidak akan lekang oleh waktu.  Begitu juga dengan MDGs. Sebagai konsep pembangunan, CSR sebenarnya tidaklah sekokoh MDGs. Definisi CSR adalah porsi perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan


Majoritas bangsa Indonesia yang kerap mendengar dua konsep itu pasti tidak berpikir bahwa keduanya bertautan erat.  Sebagaimana yang diungkap oleh banyak pakar CSR seperti Michael Hopkins, Bobby Banerjee, serta Mick Blowfield, peran perusahaan dalam pembangunan semakin menonjol saja dalam dimensi praktis maupun normatif.  Mau tidak mau, CSR mengalami apropriasi menuju "peran perusahaan dalam pembangunan secara luas".  Di sinilah kemudian CSR berjumpa dengan MDGs yang menjadikan pembangunan dengan mudah dilihat tujuan-tujuan terpentingnya. 





CSR


CSR adalah, ”Komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”


Pada dasarnya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders), dan juga tanggung jawab perusahaan terhadap para pemegang saham (shareholders). Sebenarnya hingga pada saat ini mengenai pengertian CSR masih beraneka ragam dan memiliki perbedaan defenisi antara satu dengan yang lainnya. Secara global bahwa CSR adalah suatu komitmen perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan”, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.


Sehubungan dengan itu, Reza Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:93


1.      Melakukan tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan;


2.      Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan


3.      Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup;


Dari berbagai defenisi CSR yang beragam diungkapkan oleh para ilmuan tersebut di atas, maka konsep yang perlu dipahami tentang CSR ini, yakni CSR menawarkan sebuah kesamaan dalam bentuk keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Selain itu, ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.





MDGs


Pada Tahun 2000, dilaksanakan KTT Millennium (Millennium Summit) sebagai wujud dari kepedulian dunia terhadap kemiskinan dengan lahirnya United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals/MDGs. Tujuan dari MDGs antara lain menghapuskan tingkat kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, serta menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan. Maka, jelas hal ini juga dapat diwujudkan melalui CSR sebagai bagian untuk pencapaian MDGs


MDGs memiliki delapan tujuan, yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, "mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, mengendalikan HTV dan AIDS, malaria, dan penyakit menular, menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan pembangunan di tingkat global. Namun, dua hal yang menjadi komponen utama MDGs adalah kesehatan dan pendidikan.


Komitmen Indonesia untuk mencapai MDGs mencerminkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Sampai dengan tahun 2011 ini, Indonesia telah mencapai berbagai sasaran dari Tujuan Pembangunan Millenium.





ETIKA BISNIS DALAM ISLAM


Etika bisnis adalah pengaturan khusus mengenai moral, benar dan salah. Fokusnya kepada standar-standar moral yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan bisnis, institusi dan tingkah laku. Dalam konteks ini etika bisnis adalah suatu standar moral dan bagaimana penerapannya terhadap sistem-sistem dan organisasi melalui masyarakat modern yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa kepada mereka yang bekerja pada organisasi tersebut. Dengan kata lain, etika bisnis adalah bentuk etika terapan yang tidak hanya menyangkut analisis norma-norma moral, tetapi juga menerapkan konklusi analisis ini ke lembaga-lembaga, teknologi, transaksi, aktivitas yang kita sebut bisnis. Secara umum beberapa prinsip-prinsip dalam etika bisnis adalah:


1.      Prinsip otonomi dan tanggung jawab;


2.      Prinsip kejujuran;


3.      Prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan prinsip berbuat baik (beneficence);


4.      Prinsip keadilan;


5.      Prinsip hormat kepada diri sendiri;


6.      Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle); dan


7.      Prinsip integritas moral.


Selain itu, Manuel G. Velasquez menyebutkan ada 4 (empat) prinsip yang dipakai dalam etika bisnis, yaitu, Utilitarianisme; Hak; Keadilan; dan Perhatian (Caring).


Jika diperhatikan seksama bahwa semua prinsip di atas didasarkan pada satu paham filsafat yaitu “hormat kepada manusia sebagai persona”. Dalam wujud lain, paham ini disejajarkan dengan Golden Rule (Aturan Emas atau Kaidah Emas)


CSR kepada masyarakat merupakan investasi signifikan dalam mempertahankan eksistensi suatu perusahaan. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan tanpa bantuan pihak lain. CSR merupakan pengambilan keputusan Perusahaan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, dapat memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menjunjung tinggi harkat manusia, masyarakat dan lingkungan. Penerapan CSR merupakan salah satu implementasi etika bisnis.


Etika bisnis sebagai etika terapan sesungguhnya merupakan penerapan dari prinsip-prinsip etika pada umumnya. Konsep responsibility (tanggung jawab) dan fairness (keadilan) merupakan prinsip-prinsip etika tersebut yang diimplementasikan dalam wujud CSR. Oleh sebab itu, mengkaji konsep CSR berarti membicarakan konsep tanggung jawab (responsibility) perusahaan dan perwujudan keadilan (fairness) sebagai etika bisnis.


Perusahaan merupakan badan hukum maka perusahaan mempunyai hak dan kewajiban. Kemudian berbicara mengenai etika bisnis, maka untuk menentukan suatu perusahaan mempunyai tanggung jawab moral (secara etis) maka perusahaan perlu berstatus moral atau dengan kata lain perlu merupakan pelaku moral (agen moral). Pelaku moral bisa melakukan perbuatan etis atau tidak etis. Salah satu syaratnya adalah memiliki kebebasan atau kesanggupan mengambil putusan bebas


Dengan demikian secara khusus adanya pengakuan bahwa perusahaan yang di dalamnya termasuk Perseroan Terbatas juga memiliki kehendak layaknya manusia dalam perannya sebagai moral agent sehingga pembuatan Perseroan Terbatas dapat dinilai dari sisi moral atau tidak bermoral, bertanggung jawab atau tidak bertanggungjawab. Selanjutnya, apabila perusahaan mengikatkan diri dengan manajemen kualitas, perusahaan menyetujui tanggung jawab moral tertentu. Pada aras terendah, perusahaan berjanji pada diri sendiri untuk tiga tanggung jawab perusahaan berikut ini.


1.      Perhatian pada konsumen, dinyatakan dengan memuaskan kebutuhan akan kemudahan penggunaan dan keselamatan produk yang diproduksi


2.      Perhatian terhadap lingkungan


3.      Perhatian terhadap kondisi-kondisi kerja minimum


Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup suatu bisnis yang baik untuk jangka panjang, perusahaan mengemban tanggung jawab sosial yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Meksipun dalam kenyataanya, tanggung jawab sosial dapat Bertabrakan dengan prinsip mencari keuntungan, namun justru inilah yang membedakan antara nilai sebuah bisnis yang baik dan tahan lama dari bisnis yang asal-asalan. Bisnis yang baik akan tetap mengindahkan prinsip tanggung jawab, jika perlu dengan mengorbankan keuntungan jangka pendek. Bisnis yang baik selalu mempertimbangkan keuntungan jangka pendek ini dalam rangka keuntungan jangka panjang.


Islam memandang bahwa berusaha atau bekerja merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menjelaskan pentingnya aktivitas usaha, diantaranya; ”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi. Dan carilah karunia Allah”. Kemudian dalil yang lain adalah ”Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak”. Pernah Rasulullah ditanya oleh sahabat, ”Pekerjaan apa yang paling baik wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, seorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih”. Ayat dan hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa bekerja mencari rizki adalah aktivitas yang inheren dalam ajaran Islam.


Tentu mencari rizki dalam konteks ajaran Islam bukan untuk semata-mata memperkaya diri sendiri. Karena Islam mengajarkan bahwa kekayaan itu mempunyai fungsi sosial. Secara tegas Al-Qur’an melarang penumpukan harta dalam arti penimbunan (hoarding), melarang mencari kekayaan dengan jalan tidak benar, dan memerintahkan membelanjakan secara baik. Islam memandang bahwa yang terpenting bukanlah pemilikan benda, tetapi kerja itu sendiri. Doktrin al-Qur’an yang membentuk motivasi yang tinggi dalam bekerja umat Islam antara lain tercermin dalam Q.S. Al-Mulk : 15, yang memberi kesimpulan, pertama, bahwa bumi ini semua milik Allah, tetapi dianugerahkan kepada manusia. Kalimat ”milik Allah” sebenarnya dapat dipahami bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya bukan milik perseorangan karena kekuasaannya, melainkan untuk semua orang.


Dengan begitu pada dasarnya CSR ataupun MDGs memiliki tempat istimewa dalam etika bisnis Islam. Ia merupakan manifestasi dari bentuk tanggungjawab social yang juga sangat ditekankan dalam agama Islam.

Tidak ada komentar: